MATI DALAM HIDUP
Pernah suatu kali, ada orang yang sudah makan garam berkata, “Mati sajroning urip, urip sajroning pati” – mati dalam hidup dan hidup dalam mati.
Awalnya saya bingung, tetapi kemudian, orang tua itu pun berkata lagi, “Ajaran ini untuk menghayati tentang kematian, ketika masih hidup.” Lantas saya berpikir, barangkali praktek “mortificatio” – mati raga, selama ini juga sebagai sarana belajar untuk mati, ketika orang masih hidup, “Mati sajroning urip”.
Istilah “Mati dalam hidup” dalam bahasanya Seneca (4 seb. M – 65 M) disebut dengan “meditatio mortis” – permenungan atas kematian. Dan di tengah-tengah permenungannya, ia berkata, “Media vita in morte sumus” – di tengah kehidupan ini, kita sedang berada dalam kematian.
Kemudian ada yang menarik dari makam Duns Scotus di Köln – Jerman yang tertulis, “Ante sepulturam bis morimur” – Kematian ganda telah mendahului pemakamannya. Tulisan ini yang dikutip oleh Fulton Sheen (1895 – 1979) dalam bukunya yang berjudul, “Your life Is Worth Living”. Sheen menulis bahwa hidup di dunia ini harus berani menderita yang diartikan sebagai “mortificatio.”
Akhirnya, “meditatio mortis” – permenungan kematian ini, saya kutip dari Catatan Pinggir-nya Gunawan Muhamad yang berjudul, “Monumen” (Tempo, 22 Desember 2013). Tulisnya, “Tokoh sejarah rata-rata mati dua kali. Pertama kali, saat ia dimakamkan. Kedua kali, ketika ia dibangun sebagai monumen.
Kamis, 19 Oktober 2017
Markus Marlon
Sumber KatolikIndonesia@yahoogroups.com penulis Markus Marlon <markus_marlon@yahoo.com>